Di sisi lain kebodohan ini, saat
Anang diwawancarai oleh Anji menjelaskan panjang lebar mengenai penyusunan
naskah RUU ini, Anang menyebut bahwa dia tidak menyetujui selaku musisi
terhadap pasal 5. Lah gimana ini? Dia yang bawa draft aja gak setuju. Salah satu
landasan penyusunan RUU ini kata Anang adalah konferensi musisi Indonesia yang
dilaksanakan pada tahun 2018 di Ambon. Konferensi ini melibatkan hampir seluruh
Indonesia, banyak perwakilan dari penggiat musik bawah tanah ikut disana. Nah
pas isu ini bergulir dalam hati kan kemaren ada konferensi kok RUU nya malah
seperti ini. Ini musisi bawah tanah suaranya seperti
apa? Apakah suara lintas genre dianggap angin lalu atau hanya sebagai
pelengkap saja?
Kenapa memilih gak direvisi dan gak bersabar. Kemungkinan ada pasal yang direvisi tapi apakah sesuai dengan apa
yang kita kehendaki? Pemerintah harus mengatur tentang hak cipta, royalti agar
tidak ada lagi musisi atau pencipta lagu miskin dan tidak mendapatkan apa-apa
sedangkan lagunya tiap hari berkumandang selama bumi masih ada (contohnya lagu
bento). Itu seharusnya menjadi prioritas DPR bukan mengatur cara berkesenian. Gak mau kan tiba tiba diciduk karena menulis lagi yang kontra dengan pemerintah atau
instansi tertentu. Atau mengadakan event kolektif tiba-tiba panitia diangkut..
Pict: Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan
Teks: Gorey (The Rindjink / Pemandu Huru-hara)